Merpati Nusantara Airlines
Merpati Nusantara Airlines atau selanjutnya dikenal dengan nama Merpati
Nusantara yang selanjutnya dikenal sebagai Merpati dengan kode
penerbangan MZ adalah salah satu perusahan penerbangan nasional domestik
di Indonesia. Pernah beberapa tahun yang lalu
menerbangan rute rute regional Asia Tenggara
dan Australia. Maskapai ini masuk penilaian
kategori (kinerja sangat baik) dari Kementerian Perhubungan Merpati mendapatkan
penilaian bintang (kualitas pelayanan kurang) dari Skytrax.
Dalam masalah keselamatan penerbangan, maskapai ini memiliki rekor keselamatan
yang tergolong buruk jika dibandingkan maskapai Indonesia lainnya, terutama
disebabkan oleh fokus penerbangan maskapai ini ke wilayah Indonesia Timur yang
fasilitas bandaranya masih minim. Seperti beberapa maskapai Indonesia lainnya,
maskapai ini masuk daftar hitam Uni Eropa karena masalah
keamanan dan
Bermodal Rp10 juta dan enam pesawat,
Merpati Nusantara Airlines memulai usahanya sebagai jembatan udara
yang menghubungkan tempat-tempat terpencil di Kalimantan.
Sejak berdiri, tanggal 6 September 1962,
sampai sekarang, Merpati mengalami pasang surut. "Jembatan Udara
Nusantara". yang sarat misi ini memang seringkali dihimpit masalah.
Merpati "lahir" berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.19 tahun 1962 yang menetapkan pendirian perusahaan negara perhubungan udara daerah dan penerbangan serbaguna Merpati Nusantara, yang disebut juga PN Merpati Nusantara. Perusahaan milik negara ini memiliki lapangan usaha, meliputi penyelenggaraan perhubungan udara di daerah-daerah dan penerbangan serbaguna serta memajukan segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan udara dalam arti kata yang seluas-luasnya. Maksud dan tujuannya adalah dalam rangka turut membangun perekonomian nasional di sektor perhubungan udara dengan mengutamakan kepentingan rakyat.
Sebuah
Merpati Nusantara Vickers
Vanguard 953 Tahun 1977
Awalnya, Merpati memiliki armada jenis de Havilland Otter/DHC-3 empat unit dan Dakota
DC-3 dua unit, yang merupakan pesawat hibah dari Angkatan Udara
Republik Indonesia (TNI AU). Ketika itu diketahui, modal awal
perusahaan berupa uang rupiah lama sejumlah Rp10 juta. Para pilot dan teknisi
dipasok dari AURI, Garuda Indonesia
(dulu Garuda Indonesia Airways), dan perusahaan penerbangan sipil lainnya.
Sebagai direktur utama, ditunjuk Komodor
Udara Henk
Sutoyo Adiputro (1962-1966), yang membawahi
hanya 17 personel. Beberapa bulan kemudian, tahun 1963,
penerbangan Merpati pun tak hanya di Kalimantan, tapi juga menerbangi rute Jakarta-Semarang,
Jakarta-Tanjung Karang, dan Jakarta-Balikpapan.
Tahun 1964, Merpati menerima
penyerahan seluruh hak konsesi dan operasi, serta kepemilikan sejumlah pesawat
bekas maskapai Belanda NV
de Kroonduif dari Garuda. Pengalihan ini dilakukan, dengan alasan
Garuda sedang mengembangkan kegiatan untuk menjadi flag carrier nasional dan
internasional. Pesawat hibah itu adalah tiga Dakota
DC-3, dua Twin Otter dan satu Beaver. Dengan armada
12 pesawat, Merpati mulai tumbuh. Penerbangannya mulai merambah Papua
(Irian Jaya), Sumatera,
dan Nusa Tenggara Barat.
Seiring pertumbuhannya, Merpati memandang
perlu untuk memperkuat armadanya dengan tambahan tiga Dornier
DO-28 dan enam Pilatus Porter PC-6. Namun, beberapa pesawat
sebelumnya ada yang tidak lagi dapat dioperasikan sehingga armada efektif
Merpati 15 pesawat. Jumlah karyawan Merpati pun bertambah, menjadi 583 orang.
Latar belakang pendirian Merpati adalah
untuk mengemban tugas dan misi dari pemerintah. Namun, sejak tahun 1966,
Merpati mulai mengkomersialkan diri, di bawah Dirut Capt. R.B.
Wibisono (1966-1967). Pada masa ini juga,
perusahaan memperluas wilayah operasinya di Papua
dan membeli tiga pesawat Pilatus Porter. Misinya, berupa penerbangan-penerbangan
perintis, tetap dijalankan. Merpati pun menerima bantuan tiga Twin Otter dari PBB.
Pada masa Marsekal Pertama Udara Santoro Suharto (1967-1975), terlihat kemungkinan Merpati bisa mandiri. Maka, pemerintah daerah mengurangi subsidi operasi penerbangan perintis. Namun, ternyata, pengurangan subsidi tersebut menimbulkan masalah keuangan yang cukup pelik karena penerbangan komersialnya belum beroperasi dengan mantap.
Pemerintah turun tangan lagi, dengan memberinya konsesi untuk ikut ambil bagian dalam menjalankan penerbangan jarak jauh (trunk operation), jarak sedang (semi trunk), dan jarak dekat (federline operation). Untuk mendukung operasinya itu, Merpati menambah armada dengan tujuh Dakota DC-3, yang dibeli dari Australia dan Garuda. Pesawat-pesawat ini dipakai untuk menerbangi rute di Nusa Tenggara Timur yang ditinggalkan Garuda. Sementara itu, penerbangan jarak jauh dan menengah baru dilaksanakan tahun 1970.
Guna meningkatkan efisiensi produksi, dan
menjalankan tiga kelompok jalur niaganya, Merpati menambah armada dengan empat Vickers
Viscount 828, tiga YS-11, dan dua HS-748. Sebagian dari
pesawat-pesawat ini ada yang menerbangi rute internasional, seperti Pontianak-Kuching
(Serawak,Malaysia)
dan Palembang-Singapura.
Di bawah Santoso pula, Merpati menjalin kerjasama dengan sejumlah perusahaan
penerbangan nasional dan internasional. Merpati menyerahkan seluruh pesawat
Dakota-nya kepada PT
Suryadirgantara, untuk dioperasikan bersama. Selain itu, dalam
meningkatkan pelayanan dan kinerja usaha, Merpati bekerjasama dengan sejumlah
airlines asing, seperti Japan Air Lines,
Qantas,
Thai Airways International, Lufthansa,
Olympic Airways, Trans Australia Airlines, dan China Airlines. Kerjasama tersebut, salah
satunya berupa kesepakatan dalam hal ticketing. Dengan menggunakan tiket
Merpati, penumpang dapat terbang dengan airlines asing tersebut.
Tahun 1972, dua Vickers Vanguard memperkuat lagi armada Merpati. Wilayah operasinya pun bertambah hingga ke Kuala Lumpur dan Darwin. Merpati juga memperoleh bantuan dua Twin Otter dari Pemerintah Kanada. Pada saat itu, Merpati mengoperasikan armada 32 pesawat, yaitu empat Vicker Viscount, empat YS-11, delapan Pilatus PC-6, tiga Dornier Do-28, tujuh Pilatus Porter, tiga DHC-6 Twin Otter, satu DHC-3 Otter, dan dua Vanguard.
Langkah-langkah usaha Santoso, yang kemudian mengelola airlines Seulawah yang bergabung dengan Mandala kini jadi Mandala Airlines, dilanjutkan Marsekal Muda Udara Ramli Sumardi (1975-1978). Merpati memiliki 37 pesawat, terdiri dari empat Dakota DC-3, , empat Twin Otter, dua Fokker F-27, dua HS-748, lima YS-11, lima VC-8, dan tiga VC-9, untuk menerbangi 97 kota di 19 propinsi. Pesawat-pesawat yang ada sebelumnya, sebagian memang sudah tak lagi operasi. Merpati juga mengoperasikan pesawat BAC-111 dan Boeing 707 untuk penerbangan borongan (carter) internasional, yang terbang Denpasar-Manila dan Los Angeles, Amerika Serikat-Denpasar, yang dihentikan tahun 1979.
Tahun 1978, keluar PP, yang memengaruhi
riwayat Merpati, yaitu PP Nomor 30/1978, yang intinya mengharuskan Merpati
mengalihkan modal ke Garuda Indonesia.
Merpati yang menjadi anak perusahaan Garuda, tetap menjalankan penerbangan
perintis, lintas batas, transmigrasi, borongan wisatawan, dan angkutan barang,
serta usaha-usaha lainnya. Pola operasi Merpati memang menyelenggarakan
penerbangan pada semua jaraingan penerbangan dalam negeri, secara terpadu dan
saling mengisi dengan Garuda.
Penerbangan perintis merupakan tantangan
besar tapi mulia bagi Merpati. Namun dalam menjalankannya, Merpati
mengikutsertakan sejumlah perusahaan penerbangan swasta. Seperti PT
SMAC untuk melayani Sumatera Utara dan Tengah, sejak tahun 1978,
dengan PT DAS untuk wilayah Kalimantan (sejak 1979),
dengan PT Deraya di Kalimantan (sejak 1988), dengan PT Indoavia
di Maluku (sejak 1988), dan dengan PT Asahi Mantrust di Kalimantan Timur.
Pasca keluarnya PP itu, tahun 1979, Dirut Garuda Wiweko Soepono pun menunjuk R.A.J.Lumenta (1979-1983) sebagai direktur utama. Dengan menerapkan sistem manajemen yang ketat dan terarah, Lumenta membawa Merpati ke untuk melangkah lebih baik lagi. Dia juga meyakinkan pemerintah agar memberi dana segar sebesar 18 juta dollar AS, untuk memodernisasi armada.
Lumenta lah yang pertama kali menyuarakan
bahwa Merpati tengah merugi, bahkan menuju kebangkrutan. Oleh karena itu,
menjadi anak perusahaan Garuda dinilai sebagai langkah paling strategis, ketika
itu. Lumenta, yang memang "orang Garuda", pun mengelola Merpati
dengan gaya manajemen Garuda, terutama dalam rencana penerbangannya
Kemajuan mulai terlihat, ketika tahun 1980, Merpati memperoleh tambahan 14 NC-212 dari pemerintah. Kemudian, ditambah lagi dengan pembelian empat pesawat bekas dan enam pesawat baru dari jenis yang sama. Selain itu, hanggar-hanggar pemeliharaan pesawat pun dibangun di Makassar dan Manado. Adanya tempat-tempat perawatan pesawat tersebut, merupakan awal keberhasilan Merpati beroperasi di wilayah Timur.
Beberapa bulan pada tahun 1983, Merpati dipimpin J. Soekardjo. Karena masa jabatannya yang singkat itu, ia jarang disebut-sebut. Selanjutnya, pada 10 November 1983, ia digantikan Soeratman (1983-1989).
Pada masa jabatan Soeratman, Merpati
memperoleh hibah dua Pesawat Hercules
L-100 (versi sipil dari C-130) dari Pelita Air Service, tahun 1986.
Merpati juga membuka penerbangan Kupang-Darwin
menggunakan HS-748,
yang kemudian diganti dengan F-28.
Tanggal 25
Juni 1986, Merpati menandatangani kontrak
pembelian 15 CN-235 dari IPTN,
pada saat Indonesia
Air Show (IAS) yang pertama di bekas Bandara Kemayoran, Jakarta.
Penyerahan pertama pesawat yang awalnya merupakan hasil kerjasama CASA dan IPTN
itu hanya berlangsung akhir tahun itu juga.
Pada Mei 1989, kembali ada penggatian pucuk pimpinan Merpati. Kali ini giliran Capt. F. H. Sumolang (1989-1992) Langkah ini sebagai titik tolak realisasi integrasi penuh atau operasi terpadu Merpati ke dalam Garuda Indonesia Group. Merpati ditetapkan sebagai pendukung operasi penerbangan Garuda di tingkat domestik. Sejumlah armada Garuda pun dialihkan kepada Merpati, antara lain, enam F-28 Mk.3000, 22 F-28 Mk. 4000, dan sembilan DC-9.
Pesawat
Lockheed
TriStar Merpati di Bandar Udara Perth
(akhir 1990an).
Pesawat
Airbus A310-300 Merpati di Bandar Udara Perth (akhir 1990an).
Masa-masa "gejolak" di
dalam tubuh Merpati masih berlangsung . Ridwan
Fataruddin (1992-1995) yang menggantikan
Sumolang, harus berhadapan dengan permasalahan kekurangan tenaga pilot,
menyusul penarikan kembali armada Garuda dari tubuh Merpati. Program pengiriman
calon pilot ke Australia dan Selandia Baru yang baru dijalankan, belum
dapat mengatasi kekurangan tersebut. Walau di belakangan hari, pasca pemisahan
Merpati-Garuda, masalah pilot ini menguak lagi.
Rencana pemisahan kembali dengan Garuda
memang menimbulkan banyak masalah yang menghambat operasi Merpati. Apalagi
pemisahan itu juga memberi kesempatan pada Garuda untuk menerbangi rute-rute
domestik, yang sebelumnya juga diterbangi Merpati. Garuda dan Merpati pun
bersaing di pasar yang sama. Persaingan semakin ketat karena sejumlah
perusahaan swasta pun ikut meningkatkan frekuensi pada rute yang sama.
Pada masa itu, Merpati sempat menambah armada, dengan Fokker-100, pesanan Garuda yang dialihkan, dan B737-200. Armada yang beroperasi pun menjadi 86 pesawat, walaupun masih belum mencukupi untuk menerbangi 466 rute di lebih dari 130 kota.
Permasalahannya memang kian terbuka, walau
tidak pernah diungkapkan seperti sekarang. Masalah-masalah tersebut berdampak
kepada ketepatan jadwal penerbangan (OTP, on time performace) yang makin
rendah. Rendahnya tingkat OTP itu betul-betul menurunkan citra Merpati di mata
pelanggannya.
Menurunnya kinerja tersebut, antara lain karena banyaknya tipe pesawat yang dimilikinya. Merpati ketika itu memiliki 8 tipe pesawat yang berbeda, yaitu Fokker-100, B737-200, Fokker-28, BAe ATP, Fokker-27, CN-235, NC- 212, dan Twin Otter. Belum lagi banyaknya pesawat yang perlu perawatan sehingga menurunkan utilisasinya. Merpati pun sering terdengar "merugi".
Permasalah yang terjadi saling berkait
antara satu dengan yang lain. Misalnya, penyewaan pesawat yang penuh mark up,
sewa pesawat yang tidak feasible, dan berbagai penyimpangan lainnya.
Bahkan dikatakan, hampir semua transaksi yang terjadi tidak mendukung
langkah-langkah untuk membawa perusahaan menjadi sehat.
Meski demikian, Merpati harus siap menghadapi kondisi yang ada. Menjelang pemisahan dengan Garuda, pada akhir tahun 1996, Merpati berusaha mandiri, antara lain dengan cara lebih mengefisienkan diri dan memperbaiki kinerja perusahaan. Namun semua itu belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan, antara lain karena belum bisa memecahkan masalah permodalan dan perestruktiurisasian di tubuh perusahaan. Kerugian pun makin membengkak hingga Rp135 milyar, dengan penurunan kinerja pelayanan yang seringkali mengecewakan para pelanggannya.
Direktur
Utama Budiarto
Subroto (1995-1999) berupaya mencari
celah perbaikan dengan memangkas rute yang tidak menguntungkan. Saat itu, 34
rute perintis di Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi,
yang biasanya diterbangi NC-212,
dan enam rute lain di Papua, dipangkas jumlah frekuensinya dan
ditutup, walau 28 rute perintis masih dipertahankan. Pada masa itu, Merpati
lebih banyak menata kembali rute perintis.
Pada masa itu, Merpati dengan "berani" mendatangkan A310 dan A300-600 untuk menjelajah rute internasional ke Australia. Penerbangan ini membukukan utang yang tak sedikit. Belum lagi persoalan pesawat ATP yang tak lagi laik terbang sehingga grounded, walau tetap harus membayar sewa. Ada lagi Tristar, untuk menggantikan A310, dan kemudian BAe-146-100, yang operasinya hanya "sekejap".
Kerugian pun tak pernah
"beranjak". Pada semester pertama 1997,
misalnya, kerugiannya mencapai Rp40,1 milyar. Makin terpuruk pada semester
kedua 1997, saat krisis mulai melanda. Hutang Merpati pun menjadi lebih besar
dari asetnya.
Berdasarkan analisis pengamat penerbangan yang menyebut bahwa pada tahun 1998, nilai aset Merpati sudah mencapai lebih Rp 830 milyar di bawah utang, tidaklah menjadikan Merpati "bangkrut". Awal tahun 1999, Wahyu Hidayat dan jajarannya "diperintahkan" untuk membenahinya.
Gebrakan direksi baru itu cukup meyakinkan.
Merpati mulai membenahi kinerja operasinya. Seperti, tingkat keselamatan
penerbangan makin tinggi dan OTP (On Time Performance) secara perlahan
merambat naik. Dengan slogan "Get The Feeling", Merpati mulai
berbenah dengan serius. Tahun 1999, diumumkan bahwa Merpati meraih laba
operasi, yang kedua setelah tahun 1992.
Namun, tantangan dan ancaman makin
kompleks. Di luar, persaingan makin ketat. Selain bermunculan airlines swasta
yang baru, Garuda pun makin menancapkan keberadaannya di domestik. Jumlah
karyawannya saja 4.300 orang dengan 600 pilot, tapi hanya mengoperasikan 35
pesawat.
Tahun 2007, Merpati mulai melaksanakan
program revitalisasi dan modernisasi armada secara parsial ,mengingat Merpati
hingga saat ini masih bergelut dengan masalah keuangan[3][4],
terutama armada perintis, dengan memesan 14
pesawat Xian MA60 dari Xian Aircraft China. Merpati
juga sempat menyewa 1 ATR 72, namun kemudian dikembalikan karena
dianggap tidak ekonomis (beberapa sumber menyatakan bahwa ATR hanya disewa
sementara, menunggu tambahan MA60) . Merpati juga mengumumkan akan membeli 11
pesawat 30-kursi untuk rute domestik. (tipe belum dikonfirmasi), serta juga
kemungkinan akan memesan pesawat N-219 buatan PTDI sekitar tahun 2011 ini.
Pada 7 Mei 2011 lalu, sebuah pesawat Xian MA60 (PK-MZK) jatuh di perairan Kaimana, menewaskan seluruh penumpangnya yang berjumlah 27 orang (21 penumpang dan 6 kru). Kecelakaan ini menambah panjang daftar kecelakaan yang melibatkan armada perintis Merpati. Kecelakaan terakhir yang dialami Merpati adalah pada tanggal 2 Agustus 2009, dimana sebuah Twin Otter jatuh di pegunungan di Papua, menewaskan seluruh 16 penumpangnya (13 penumpang dan 3 kru). Setelah kecelakaan di Kaimana, banyak pihak mempertanyakan keputusan Merpati membeli pesawat Xian MA60 tersebut, serta dugaan mark-up dan kolusi yang terjadi saat proses pembeliannya.
5 Juni 2011: Untuk memenuhi misinya sebagai 'Jembatan Udara Nusantara', Merpati Nusantara Airlines memerlukan 15 pesawat jet, ditambah 40 pesawat 50-penumpang dan 20 pesawat 20-penumpang seperti MA-60, NC-212, N-219, dan DHC-6 Twin Otter.[5] Bulan Juli 2011, Pemerintah dan DPR menyetujui penyuntikan modal senilai 516 milyar rupiah ke Merpati dalam APBN 2012.[6]. Kemudian, di bulan Oktober 2011, Pertamina menghentikan pasokan avtur ke Merpati di Surabaya dan Makassar akibat hutang biaya pembelian avtur senilai 270 milyar rupiah, sehingga menghentikan operasi Merpati dari kedua bandara tersebut. Hutang total Merpati kepada Pertamina adalah sebesar 550 milyar rupiah, terdiri dari hutang pokok 270 milyar, dan sisanya bunga dan denda. Namun, beberapa waktu kemudian, operasi Merpati dari kedua bandara tersebut sudah normal kembali.
Pada bulan Maret 2012, Merpati meluncurkan program "Tahun Emas Merpati Nusantara". Acara peluncuran yang disaksikan langsung oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan dan duta maskapai Merpati Deddy Mizwar ini memberikan garansi OTP (On Time Performance) yang dinamai "On Time Guarantee" apabila pesawat Merpati delay lebih dari 4 jam atau dibatalkan, undian berhadiah 1 Toyota Voll Fire, 1 Toyota Innova, 12 Nissan Juke, 12 Smart Car Marcedes, 55 iPad 2, 55 Samsung Galaxy TAB 7 dan 55 Black Berry Onyx, serta membuka layanan Call Center baru di Bandung di nomor 08041621621 dan (022)88887777. Dalam program inipun Dahlan Iskan juga menjadi bintang iklannya yang menyatakan ia akan selalu naik Merpati, yang berbunyi : "Saya dan keluarga akan mengutamakan selalu naik Merpati".
Mei 2012 , Jabatan tertinggi Merpati yang
dipegang oleh Sardjono Jhony digantikan oleh Rudy Setyopurnomo. Rudy
Setyopurnomo ditunjuk langsung oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan untuk membuat
Merpati bisa keluar dari keterpurukan. Sejak dipegang Rudy Setyopurnomo,
Merpati melakukakan gebrakan-gebrakan seperti :
- Menutup 20 rute
yang Merugi
- Website baru, Call
Center 24 Jam dan City Check-in di 9 kota
- Kerja Sama
Pengangkutan Cargo dengan PT.POS Indonesia
dan akan fokus meningkatkan Load Factor
menjadi 85% yang sebelum nya hanya 69%.
Januari 2013 , Merpati berencana
mendatangkan 6unit A320 sebagai langkah memodernisasi armada nya. Dalam rencana
nya Merpati akan mendatangkan A320 pada bulan Juni 2013 hingga akhir tahun
2013. Untuk mempersiapkan kehadiran A320 nya Merpati menyekolahkan Sekitar 20
Pilot nya untuk mendapatkan License A320 dengan bekeja sama dengan STAA yg
berbasis di Singapore. Mei 2013, Merpati telah mempersiapkan Twin Otter
ber-livery Orange PK-NUH sebagai bentuk kerja sama dengan PT.Pos untuk pengangkutan
cargo di kawasan indonesia timur khusus nya Jayapura. Nanti nya apabila
permintaan cukup tinggi Merpati akan menambah armada cargo nya sebagai bentuk
ekspansi tak hanya di indonesia timur melainkan kawasan indonesia lain nya
seperti Medan, Batam, Pontianak atau daerah Maluku.
Rute
|
Catatan
|
||||||
Y
|
Total
|
||||||
135
|
135
|
Domestik dan internasional
|
|||||
150
|
158
|
Domestik dan internasional
|
|||||
118
|
118
|
Domestik dan internasional
|
Grounded
|
||||
180
|
180
|
Domestik dan internasional
|
Juni 2013
|
||||
20
|
20
|
Domestik
|
|||||
20
|
20
|
Domestik
|
|||||
56
|
56
|
Domestik
|
|||||
- 1 ATR 72
- 2 Airbus A310
- 1 Boeing 707-100[9]
- 1 Boeing 707-300C (jatuh di Azerbaijan[10])
- 3 Boeing 727-200
- 7 Boeing 737-400
- 2 Boeing 737-300
- 2 BAe 748 Series 2A
- 3 McDonnell Douglas DC-9
- 15 Boeing 737-200
- 3 De Havilland Canada DHC-6-300 Twin Otter
- 2 Fokker 100
- 2 Fokker F27 Mk500
- 22 Fokker F28 Mk4000
- 5 Fokker F27 Mk500F
- 10 CN-235-100
- 5 NC 212-200
- 1 Lockheed TriStar
- 5 Vickers Vanguard
- 7 Januari 2012, pukul 15.45 WIB, Merpati Nusantara Airlines jenis MA-60 dengan nomor penerbangan MZ 536 terperosok di Bandar Udara Haji Asan Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Pesawat rute Surabaya-Sampit ini dipiloti oleh Kapten Saptono dan kopilot Fauldort. Pesawat ini membawa 46 penumpang dewasa, 10 anak-anak, enam bayi dan enam awak pesawat. Dalam insiden tersebut tidak ada korban jiwa dan seluruh penumpang selamat[11].
- 10 Juni 2013, Pesawat Merpati Airlines MA-60 tujuan Bajawa-Kupang mengalami kecelakaan di Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur
--><
Tidak ada komentar:
Posting Komentar