MANFAAT IBADAH HAJI
Segala puji hanya bagi
Allah, shalawat serta salam kita sampaikan kepada Rasulullah, keluarganya dan
para sahabatnya. Berikut ini adalah uraian yang terkandung padanya beberapa
keutamaan dan manfaat ibadah haji. Aku katakan :
Ibadah haji merupakan
sebuah ibadah dari berbagai macam ibadah yang Allah wajibkan. Allah jadikan
ibadah ini sebagai salah satu dari lima pondasi (rukun) yang dengannya akan
tegak agama Islam ini, dan ibadah haji ini juga merupakan sebuah ibadah yang
dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya
sebagaimana dalam hadits yang shahih:
“Islam dibangun di atas
lima (rukun): (1) Persaksian bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi dengan
benar kecuali hanya Allah dan persaksian bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah,
(2) Mendirikan shalat, (3) Menunaikan zakat, (4) Berpuasa pada bulan Ramadhan,
dan (5) Menunaikan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram.”
Sesungguhnya Rasulullah
telah menunaikan ibadah haji bersama para shahabatnya pada tahun ke-10
Hijriyah. Dalam momen tersebut, beliau menjelaskan kepada umatnya tentang tata
cara pelaksanaan ibadah ini, dan sekaligus beliau juga memberikan dorongan
kepada umatnya untuk memperhatikan setiap yang diucapkan dan diamalkan oleh
beliau dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Beliau bersabda :
“Ambillah oleh kalian
dariku (meniru tata cara manasik yang telah aku ajarkan) dalam menunaikan
manasik kalian, karena barangkali aku tidak bisa lagi bertemu dengan kalian
setelah tahun ini.”
Oleh sebab itulah, haji beliau tersebut disebut dengan
haji wada’ (haji perpisahan).
Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam juga memberikan semangat kepada umatnya untuk melaksanakan
ibadah haji, menjelaskan tentang keutamaannya, serta menerangkan tentang janji
Allah berupa pahala yang melimpah bagi siapa saja yang menunaikan ibadah haji
dengan sebaik-baiknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa yang
melaksanakan ibadah haji, kemudian dia tidak mengucapkan kata-kata yang keji
atau kotor serta tidak berbuat kefasikan, maka dia akan kembali bersih (dari
dosa-dosa) seperti hari ketika dia dilahirkan oleh ibunya.” [HR. Al-Bukhari dan
Muslim].
Dan beliau shallallahu
‘alaihi wasallam juga bersabda:
“Dari umrah yang satu
ke umrah berikutnya adalah sebagai penghapus dosa-dosa di antara keduanya. Dan
haji yang mabrur, tidaklah ada balasan baginya kecuali Al-Jannah.” [Muttafaqun
‘Alaihi, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]
Dsebutkan pula di dalam
Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) juga dari shahabat Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan:
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah ditanya: ‘Amalan apakah yang paling utama?’ Maka beliau
menjawab: ‘Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Ditanyakan kembali kepada
beliau: ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab: ‘Berjihad di jalan Allah.’ Dan
ditanyakan kembali kepada beliau: ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab: ‘Haji
yang mabrur’.”
Dan di dalam Shahih
Muslim disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada ‘Amr
bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu ketika dia masuk Islam:
“Tidakkah engkau tahu
bahwasanya Islam menghapus dosa-dosa (kejelekan) yang telah lalu, dan
bahwasanya hijrah menghapus dosa-dosa (kejelekan) yang telah lalu, dan juga
bahwasanya haji menghapus dosa-dosa (kejelekan) yang telah lalu.”
Al-Bukhari meriwayatkan
dalam Shahihnya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya dia berkata kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Wahai Rasulullah, kami
mengetahui bahwa jihad adalah amalan yang paling utama, tidakkah kami juga ikut
berjihad?” Beliau menjawab: “Bukan seperti itu, akan tetapi jihad yang paling
utama (bagi wanita) adalah haji yang mabrur.”
Dari hadits-hadits yang
telah disebutkan di atas dan juga (dalil-dalil) yang lainnya, menjadi jelaslah
bagi kita tentang keutamaan ibadah haji dan betapa besarnya pahala yang telah
Allah persiapkan bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah tersebut. Dan
menjadi jelas pulalah bahwa besarnya pahala yang akan diraih itu adalah hanya
bagi barangsiapa yang ibadah hajinya tergolong haji yang mabrur.
Maka apakah yang
dimaksud dengan kemabruran ibadah haji yang dijanjikan oleh Allah pahala yang
cukup besar itu?
Sesungguhnya kemabruran
ibadah haji itu akan diraih dengan beberapa hal, yaitu hendaknya seorang muslim
menunaikan ibadah hajinya dengan sempurna, mengikhlaskan amalannya tersebut
semata-mata untuk mengharap wajah Allah ta’ala dan ketika menunaikan
(manasik)nya sesuai dengan sunnah (dan tata cara yang pernah diajarkan oleh)
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan hendaklah dia
menjaga pelaksanaan ibadah tersebut dengan mengamalkan segala yang
diperintahkan oleh Allah dan menjauhi segala yang dilarang oleh-Nya.
Melaksanakan segala
yang diperintahkan (oleh Allah) dan meninggalkan segala yang dilarang (oleh
Allah) sebenarnya merupakan kewajiban seorang muslim sepanjang hidupnya. Akan
tetapi kewajiban ini lebih ditekankan lagi pada waktu-waktu dan tempat-tempat
tertentu yang memiliki keutamaan. Karena Allah menciptakan makhluk-Nya adalah
agar mereka beribadah kepada-Nya, yaitu taat kepada-Nya dengan melaksanakan
segala yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan segala yang dilarang oleh-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
“(Allah) yang
menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian
yang lebih baik amalannya.” [Al-Mulk: 2]
Allah ta’ala juga berfirman:
“Dan tidaklah Aku
menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” [Adz-Dzariyat: 56]
Sehingga seorang muslim
itu harus senantiasa berada di atas ketaatan kepada Allah dan menjauhkan diri
dari kemaksiatan kepada-Nya, baik di tengah-tengah pelaksanaan ibadah haji, dan
juga sebelum pelaksanaan ibadah haji ataupun setelahnya. Yang demikian ini
adalah agar akhir kehidupannya ditutup dengan kesempurnaan yaitu dalam keadaan
berada di atas kebaikan. Sehingga akhir hidupnya itu ditutup dalam keadaan baik
dan terpuji, sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Wahai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah
kalian sekali-kali mati melainkan dalam keadaan Islam.” [Ali ‘Imran: 102]
Dan juga firman Allah ta’ala:
“Dan beribadahlah
kepada Rabbmu sampai datang kepadamu ‘al-yakin’ (kematian).” [Al Hijr: 99]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Sesungguhnya
amalan-amalan itu tergantung pada akhir kehidupannya.”
Dan di antara bentuk
kebaikan yang dengannya akan diraih kemabruran ibadah haji adalah hendaknya
bersemangat di tengah-tengah pelaksanaan ibadah hajinya untuk merenungi
rahasia-rahasia dan pelajaran-pelajaran yang terkandung dalam ibadah haji
tersebut dan juga memperhatikan beberapa manfaat (haji) yang sangat banyak,
baik manfaat tersebut adalah manfaat yang bisa segera dirasakan, maupun manfaat
yang baru bisa dirasakan setelah beberapa waktu kemudian. Secara umum
manfaat-manfaat tersebut telah Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya :
“Supaya mereka
menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” [Al-Hajj: 28]
Berikut ini adalah
uraian beberapa manfaat dan rahasia (haji) sebagaimana yang telah isyaratkan
dalam ayat di atas:
Sesungguhnya ikatan
yang terjadi antara seorang muslim dengan Baitullah Al-Haram merupakan ikatan
yang sangat kokoh. Di mana ikatan tersebut mulai tumbuh sejak ia menyatakan
diri sebagai seorang muslim, dan ikatan ini akan terus menerus bersamanya
selama ruh masih berada di kandung badan.
Maka seorang bayi yang
dilahirkan dalam keadaan Islam, pertama kali yang menyentuh pendengarannya dari
hal-hal yang Allah wajibkan adalah rukun Islam yang lima, yang salah satunya
adalah malaksanakan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram.
Dan seorang kafir,
apabila dia (masuk Islam dan) bersaksi dengan persaksian yang benar kepada
Allah tentang keesaan-Nya dan juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah
sebagaimana persaksian yang dilakukan oleh kaum muslimin, maka yang pertama
kali diwajibkan kepadanya dari kewajiban-kewajiban dalam Islam setelah dua
kalimat syahadat adalah menegakkan shalat lima waktu, menunaikan zakat,
berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram.
Rukun Islam setelah dua
kalimat syahadat adalah menegakkan shalat lima waktu yang Allah wajibkan kepada
kaum muslimin dalam setiap harinya, dan Allah jadikan ‘menghadap ke arah
Baitullah Al-Haram’ sebagai salah satu syarat dari syarat-syarat shalat.
Sehingga ikatan antara seorang muslim dengan Baitullah Al-Haram adalah
terus-menerus dalam setiap hari, dia menghadap ke arahnya sesuai dengan
kemampuan dirinya dalam setiap shalat yang dia laksanakan, baik shalat wajib
maupun shalat nafilah (sunnah), sebagaimana dia juga menghadap ke arah
Baitullah ketika berdoa.
Hubungan erat yang
membuahkan keterikatan antara hati seorang muslim dengan rumah Rabbnya
(Baitullah) yang bersifat terus menerus ini mau tidak mau akan mendorong
seorang muslim untuk selalu ingin menghadapkan diri kepada Al-Baitul ‘Atiq
(Baitullah), agar dengannya ia merasakan kenikmatan melihat rumah Allah dengan
pandangan matanya dan agar tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji yang
telah Allah wajibkan bagi siapa saja yang memiliki kemampuan untuk
menunaikannya.
Maka bagi seorang
muslim, kapan saja dia telah memiliki kemampuan untuk menunaikan ibadah haji,
hendaklah ia bersegera untuk menunaikannya, sebagai kewajiban yang harus
dilaksanakannya, dan dalam rangka berharap untuk dapat melihat rumah Allah yang
ia menghadapkan wajah ke arahnya di setiap shalat, dan juga dalam rangka
berharap agar dapat menyaksikan berbagai manfaat yang telah Allah diisyaratkan
dalam firman-Nya:
“Supaya mereka
menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” [Al-Hajj: 28]
Apabila seorang muslim
telah sampai di Baitullah, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri rumah
yang paling mulia dan tempat yang paling suci di muka bumi, yaitu Ka’bah
Al-Musyarrafah (yang dimuliakan), sebagai tempat pertemuan bagi seluruh kaum
muslimin di dalam shalat-shalat mereka, baik kaum muslimin dari belahan bumi
timur maupun barat. Dia pun juga menyaksikan kaum muslimin berdiri mengitari
Ka’bah membentuk formasi lingkaran tatkala melaksanakan shalat, lingkaran
paling kecil adalah yang ada di sekitar (paling dekat) Ka’bah, kemudian
lingkaran yang berikutnya dan seterusnya sampai lingkaran yang terbesar di
ujung dunia.
Di dalam
shalat-shalatnya, kaum muslimin senantiasa dalam keadaan menghadap ke arah
rumah Allah, mereka seperti titik-titik yang membentuk lingkaran, baik yang
kecil maupun yang besar, dengan rumah Allah (Ka’bah Al-Musyarrafah) sebagai
pusatnya.
Ketika Allah telah
memudahkan bagi seorang muslim untuk berangkat menunaikan ibadah haji ke
Baitullah, dan kemudian ketika ia sampai ke miqat sebagaimana yang telah
ditentukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memulai ihram,
maka dia pun melepas semua pakaiannya kemudian menggantinya dengan pakaian
ihram yaitu mengenakan sarung pada
bagian bawah tubuhnya dan memakai selempang pada bagian atasnya kecuali kepala
(dalam keadaan kepalanya terbuka).
Maka dalam keadaan
pakaian yang demikian, semua jama’ah haji berada dalam keadaan yang sama. Tidak
ada bedanya antara yang kaya dengan yang miskin, dan juga antara pemimpin
dengan rakyat. Kesamaan mereka dalam keadaan seperti ini mengingatkan kepada
kesamaan dalam memakai kain kafan ketika meninggal dunia. Karena ketika seorang
muslim meninggal dunia, maka semua pakaiannya dilepas kemudian dibungkus dengan
beberapa kain (kafan). Sehingga dalam hal ini tidak ada bedanya antara seorang
yang kaya dengan yang miskin.
Apabila seorang jama’ah
haji melepas pakaiannya kemudian menggantinya dengan pakaian ihram, maka hal
ini mengingatkannya kepada sebuah kematian yang merupakan akhir dari
kehidupannya di dunia ini untuk kemudian memulai kehidupan di akhirat. Sehingga
dengan hal ini, dia akan mempersiapkan dirinya dalam menghadapi kematian yang
akan menjemputnya dengan berbagai amalan yang shalih dan menjauhkan diri dari
perbuatan maksiat. Persiapan tersebut adalah sebagai bekal bagi dirinya menuju
akhirat, sebagaimana yang Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:
“Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” [Al-Baqarah: 197]
Oleh sebab itulah,
ketika ada seseorang yang bertanya kepada Nabi: “Kapankah datangnya hari
kiamat?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apa yang telah
engkau persiapkan untuk menghadapinya?”
Sebuah peringatan dari
Nabi shalawatullahi wasalamuhu ‘alaihi bahwa sesuatu yang paling penting bagi
diri seorang muslim adalah agar seharusnya dia senantiasa memperhatikan
beberapa hal yang akan dihadapinya setelah kematian. Kemudian dia bersiap-siap
menghadapinya pada setiap keadaannya dengan melaksanakan perintah Allah dan
meninggalkan larangan-Nya.
Kemudian apabila
seorang muslim telah masuk pada pelaksanaan ibadah haji, dia akan bertalbiyah
dengan mengucapkan kalimat-kalimat tauhid sebagaimana yang telah diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Aku sambut
panggilan-Mu ya Allah, aku sambut panggilan-Mu. Aku sambut panggilan-Mu yang
tidak ada sekutu bagi-Mu, aku sambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan
nikmat dan kekuasaan hanyalah milik-Mu, yang tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Dia mengucapkan
talbiyah ini dalam keadaan dirinya merasakan kandungan kalimat tersebut, berupa
tauhid (mengesakan) Allah dalam ibadah, bahwasanya Allah adalah satu-satu Dzat
yang dikhususkan pada-Nya semua bentuk peribadatan tanpa selain-Nya.
Sebagaimana Dia subhanahu wata’ala sebagai satu-satunya Dzat yang menciptakan
dan mewujudkan makhluk, maka wajib untuk menjadikan Dia sebagai satu-satunya
Dzat yang diibadahi tanpa selain-Nya, siapapun dia. Dan memalingkan
(mempersembahkan) salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah merupakan bentuk
kezhaliman yang paling zhalim dan kebatilan yang paling batil.
Kalimat yang diucapkan
oleh seorang muslim tersebut adalah sebagai sambutan terhadap panggilan Allah
kepada para hamba-Nya dalam pelaksanaan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram.
Dengannya seorang muslim akan merasakan betapa agungnya kedudukan Sang Penyeru,
yaitu Allah dan betapa pentingnya sesuatu yang diserukan itu. Sehingga dia
berusaha untuk memenuhi panggilan tersebut sesuai dengan tata cara yang
diridhai oleh Allah ta’ala, dan dia pun mengetahui bahwa inti dari ibadah haji
dan juga ibadah-ibadah yang lainnya adalah
Ikhlas kepada Allah,
sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam kalimat tauhid yang terkandung dalam
talbiyah di atas.
Mutaba’ah
(mencontoh/mengikuti) petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
pelaksanaan manasik haji, beliau bersabda:
“Ambillah oleh kalian
dariku (meniru tata cara manasik yang telah aku ajarkan) dalam menunaikan
manasik kalian.”
Ketika seorang muslim
telah sampai di Ka’bah yang mulia, dia akan menyaksikan pelaksanaan ibadah
thawaf yang ada di sekitar Ka’bah, yang mana thawaf ini tidak boleh
dilaksanakan dalam syarilat Islam kecuali dikhususkan pada tempat ini saja.
Semua bentuk pelaksanaan thawaf yang dilakukan pada selain tempat ini, maka itu
merupakan syari’at dari setan, serta pelakunya diancam dengan firman Allah
ta’ala:
“Apakah mereka
mempunyai tandingan-tandingan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka
agama yang tidak diizinkan oleh Allah?” [Asy-Syuura: 21]
Dia juga akan
menyaksikan dicium dan diusapnya Hajar Aswad dan diusapnya Rukun Yamani.
Tidaklah datang dari syari’at Islam yang menganjurkan untuk mencium atau
mengusap batu-batuan atau bangunan kecuali pada dua tempat (Hajar Aswad dan
Rukun Yamani) ini saja.
Ketika Umar bin
Al-Khaththab mencium Hajar Aswad, beliau menerangkan bahwa perbuatan yang
beliau lakukan tersebut adalah semata-mata mengikuti contoh Rasulullah
sahallallahu ‘alaihi wasallam tatkala mencium Hajar Aswad. Kemudian beliau
mengatakan kepada Hajar Aswad:
“Kalaulah seandainya
aku tidak melihat Nabi menciummu, niscaya aku tidak akan melakukannya.”
Seorang jama’ah haji
akan menyaksikan dalam pelaksanaan ibadah hajinya tersebut pertemuan akbar kaum
muslimin, yaitu pada hari Arafah di padang Arafah, saat para jama’ah haji
berwukuf secara bersama-sama di tempat itu dalam keadaan bertalbiyah dan
bertahlil kepada Allah, memohon kebaikan dunia dan akhirat.
Pertemuan akbar kaum
muslimin ini akan mengingatkan mereka kepada padang mahsyar di hari kiamat yang
semua umat manusia dari awal (zaman) sampai akhir (zaman) bertemu dan berkumpul
di tempat tersebut, menunggu keputusan Allah untuk kemudian mereka menuju
tempat tujuan yang terakhir sesuai dengan amalan-amalan yang mereka kerjakan.
Apabila mereka mengamalkan amalan-amalan yang baik maka akan mendapatkan
balasan kebaikan, dan jika mereka mengamalkan amalan-amalan yang jelek maka
akan mendapatkan balasan kejelekan.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam selaku hamba dan utusan Allah, memintakan syafaat kepada Allah untuk
mereka, agar Allah segera memberi keputusan-Nya. Maka Allah pun memberikan
syafaat-Nya (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Itulah Al-Maqamul
Mahmud (kedudukan yang terpuji), yang semua umat manusia mulai dari awal
(zaman) sampai akhir (zaman) memberikan pujian atas beliau. Dan Inilah yang
disebut dengan Asy-Syafa’atul ‘Uzhma, yang dikhususkan hanya untuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak ada seorang pun yang memilikinya baik
dari kalangan malaikat yang didekatkan maupun para nabi yang diutus.
Dan dalam pertemuan
akbar umat Islam tersebut, baik di padang Arafah maupun di tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji yang lainnya, kaum
muslimin dari penjuru timur dan barat saling bertemu, mereka saling berkenalan
dan memberikan nasehat, serta sebagian mereka mengetahui keadaan sebagian yang
lainnya. Mereka bersama-sama dalam suasana kegembiraan dan rasa senang,
sebagaimana sebagian mereka bersama-sama dengan sebagian yang lain ketika
mengalami sakit, sehingga mereka menunjukkan apa yang sudah semestinya mereka
lakukan kepada orang lain. Dan mereka juga saling menolong di atas kebaikan dan
ketakwaan sebagaimana yang telah Allah ta’ala perintahkan.
Inilah beberapa
(sebagian) manfaat yang aku sebutkan dari keseluruhan manfaat yang banyak
sekali, yang secara umum telah Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:
“Supaya mereka
menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” [Al-Hajj: 28]
Manfaat terbesar bagi
seorang muslim setelah dia selesai dari pelaksanaan ibadah haji adalah
hendaknya ia berusaha agar ibadah hajinya tersebut diterima, dan hendaknya
keadaan dirinya setelah menunaikan ibadah haji adalah lebih baik daripada
sebelumnya. Sehingga dia berusaha untuk menjadikan ibadah hajinya sebagai
langkah awal di dalam melakukan berbagai perubahan dirinya, baik dalam hal
perilaku hidup maupun amalan-amalan kesehariannya, dia mengubah kejelekan
dirinya dengan kebaikan dan mengubah dirinya dari kebaikan kepada keadaan yang
lebih baik lagi.
Dan hanya kepada Allah tempat
memohon semoga Dia memberikan taufiq-Nya kepada kaum muslimin agar mereka
diberi kefahaman dalam urusan agama mereka dan kekokohan di atasnya, dan agar
Allah mengokohkan kedudukan kaum muslimin di muka bumi, serta menolong mereka
atas musuh-musuh Allah dan musuh-musuh mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penolong
dan Maha Mampu atas itu semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar